Ditulis oleh: Bakti Abdillah Putra, S.H.Int., M.Int.Comm.
Dosen Komunikasi Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Jaya
Demokrasi dan Komunikasi Politik suatu negara tidak hanya dapat dipelajari melalui buku ataupun aktivitas di kelas. Kedua hal tersebut dapat kita pahami dari media lain, seperti halnya berita dan juga film. Artikel ini akan membahas tiga hal yang berkaitan dengan demokrasi dan komunikasi politik yang diangkat dari film 22 July (2018) besutan sutradara Paul Greengrass.
Film ini menceritakan kondisi Norwegia, khususnya Kota Oslo dan Pulau Utoya, yang diserang oleh tindakan teroris dan memakan korban jiwa sebanyak 77 orang pada 22 Juli 2011. Berikut adalah poin-poin yang menunjukkan bahwa masyarakat Norwegia masih memegang teguh prinsip keterbukaan dan demokrasi di tengah situasi yang kritis:
1. Pendidikan Politik Sejak Usia Sekolah
Para murid di Norwegia sudah diwajibkan untuk belajar ilmu politik dan ilmu sosial di rentang waktu 10 tahun periode pendidikan mereka (Borhaug, 2008). Fakta ini sesuai dengan adegan yang dimainkan di dalam film 22 July di mana para murid yang mengikuti perkemahan di pulau Utoya melakukan aktivitas role play untuk unjuk kampanye sebagai perdana menteri.
Di dalam aktivitas tersebut, setiap murid akan menguji rasa percaya diri mereka untuk tampil layaknya seorang pemimpin yang dinilai dari aspek substansi pidato, cerita, public speaking, serta visi dan misi mereka. Dari pidato dan pernyataan yang mereka paparkan, murid yang lain akan berlaku sebagai publik dan akan memberikan pertanyaan yang menantang untuk dijawab oleh sang ‘perdana menteri’. 2. Freedom of Speech
Masyarakat yang demokratis adalah kumpulan orang yang mampu mengutarakan isi pikiran mereka, membentuk opini publik, mengakses informasi, dan membentuk lingkungan yang terbuka (Restrepo, 2013). Masyarakat Norwegia, khususnya mereka para keluarga korban merasa terwakili dan memiliki ruang untuk menyatakan simpati serta menuntut keadilan atas kejadian tragis yang menimpa kerabat mereka.
Di salah satu adegan, salah satu korban yang selamat, Lara, memberikan kesaksiannya di pengadilan dan dirinya mengaku adalah seorang keturunan imigran yang sebetulnya ditargetkan untuk dijadikan korban pada serangan tersebut. Akan tetapi, Lara merasa bahwa Norwegia adalah negara yang sangat terbuka dan toleran terhadap keberadaan para pendatang dengan latar belakang apapun. 3. Keteladanan Seorang Pemimpin
Saat serangan tersebut terjadi dan kabar duka menyebar luas hingga ke seluruh dunia, sosok yang menjadi sorotan utama pada kejadian tersebut adalah kepala pemerintahan atau Perdana Menteri Norwegia yang sedang menjabat, Jens Stoltenberg. Beliau diminta tegas untuk membuat keputusan sekaligus bersikap tenang serta menunjukkan rasa empati kepada keluarga korban.
Perdana Menteri Stoltenberg memberikan pernyataan kepada pers bahwa Norwegia akan melawan terorisme dan negaranya akan tetap memperhatikan nilai-nilai toleransinya. Beliau akhirnya bertemu secara pribadi dengan para keluarga korban dan mengatakan “We should have been better; I should have been better”. Dari statement tersebut, penonton dapat menilai bahwa beliau adalah sosok yang sangat rendah hati serta berjiwa besar melalui cara berkomunikasi yang elegan. Komunikasi merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar masyarakatnya mampu memiliki rasa percaya yang tinggi serta sense of belonging satu dengan yang lainnya (Ayub, Manaf, & Hamzah, 2014).
Pembahasan di atas sangat mungkin untuk diaplikasikan di negara lainnya, seperti Indonesia yang tengah menjadi masyarakat yang demokratis. Indonesia juga merupakan negara yang terbuka akan perbedaan, dari segi ras, agama, dan suku bangsa, dan kekayaan tersebut seharusnya dijadikan dasar yang baik untuk mengkomunikasikan perdamaian serta kesetaraan.
Pemuda di Indonesia juga diharapkan tidak mudah terpengaruh dengan isu atau ajakan untuk memecah-belah kesatuan bangsa yang berujung pada tindakan anarkis. Semoga film 22 July juga bisa menjadi sarana pembelajaran yang baik untuk meningkatkan minat anak muda untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan berpolitk. (Editor: NB)
Referensi:
Ayub, S., Manaf, N., & Hamzah, M. (2014). Leadership: Communicating Strategically in the 21st Century. Procedia – Social and Behavioural Sciences, 155, 502-506.
Borhaug, K. (2008). Educating voters: political education in Norwegian upper-secondary schools. Journal of Curriculum Studies, 40(5), 579-600.
Restrepo, R. (2013). Democratic Freedom of Expression. Open Journal of Philosophy, 3(3), 380-390.
Comments