top of page
Writer's picturekompressupj

Culture Jamming di Era Digital

Updated: Feb 12, 2021

Advertising is legalized lying.” – H. G. Wells.


Oleh: Isti Purwi Tyas Utami, M.I.Kom

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya


Iklan sebagai pesan media massa dalam perkembangannya kerap menciptakan polemik di masyarakat. Mulai dari iklan yang menciptakan permintaan, iklan yang menciptakan nilai-nilai sosial baru hingga memicu konsumerisme yang kebablasan. Perlawanan terhadap iklan muncul dalam bentuk gerakan sosial khususnya di Amerika dan Eropa. Pesan utama yang dibawa adalah penolakan terhadap konsumtivisme, komersialisme, dan korporasi.


Perlawanan dilakukan dengan menciptakan karya seni ekstrim yang bertujuan 'menghancurkan' atau 'membelokkan' pesan sebuah iklan. Berbagai pesan iklan dikemas ulang menjadi pesan baru dengan tujuan menumbangkan dan mengkritisi. Gerakan semacam ini dikenal dengan Culture Jamming. Culture Jamming sebagai Gerakan sosial sering dikaitkan dengan subvertising, spoof ad, meme dan detournement. Pelakunya yang disebut culture jammer, bisa berupa individu yang mandiri menginisiasi gerakan namun juga bisa kelompok.


Cultural jammer pada umumnya melihat dan mengkritisi nilai-nilai sosial, budaya, politik dibelokkan oleh kepentingan komersil. Beberapa nama culture jammer yang dikenal dan masih aktif antara lain Adbusters, Ron English, Banksy, Billboard Liberation Front (BLF) dan sebagainya.

Dalam kajian komunikasi culture jamming menyerupai konsep noise dalam model komunikasi Shannon dan Weaver.


Culture Jamming merupakan gangguan pada pesan iklan yang asli. Tujuannya adalah untuk mengusik proses berpikir audiens saat melihat iklan populer. Pesan asli dihancurkan dan diambil alih agar menimbulkan efek yang berbeda. Culture jammer dalam gerakan ini menciptakan pesan tandingan dengan mengubah atau mencipta ulang visualisasi logo, fashion atau citra produk dengan tujuan menantang pemikiran “mana yang lebih baik?”.


Dari aktivisme offline ke online

Sebelum teknologi internet lahir dan mengubah cara manusia berkomunikasi, culture jamming menggunakan berbagai jenis media sebagai saluran kritik. Mulai dari media cetak seperti majalah dan spoof ad poster, media luar ruang, video berupa liputan atau essai, televisi, hingga happening art. Pada era tersebut Culture jamming offline sebagai gerakan yang ingin menggugah kesadaran masyarakat luas mendapati keterbatasan khususnya dalam hal jangkauan dan kecepatan.


Kehadiran teknologi internet dan search engine membawa culture jamming pada fase baru gerakan. Culture jammer yang dimotori oleh aktivis dan pekerja seni secara cepat mengadopsi teknologi media digital untuk menyasar audiens baru, menggalang dukungan dan mengorganisasi aksi protes. Pada culture jamming online aktivis dan pekerja seni secara cepat memanfaatkan situs resmi gerakan, blog dan jejaring sosial.

Sumber: adbusters.org

Perubahan culture jamming di era media digital tidak hanya sebatas penggunaan teknologi media terkini namun juga pada pengembangan pesan gerakan. Gerakan yang semula bertujuan menyerukan anti konsumtivisme, dalam perkembangannya juga banyak menyuarakan isu-isu politik dan sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia.


Leah A. Lievrouw dalam bukunya Alternatif and Activist New Media (2011), memaparkan bahwa culture jamming sebagai salah satu genre aktivisme di media digital memiliki beberapa karakteristik khusus dilihat dari aspek scope, stance dan agency and action. Jika dilihat dari aspek scope, ruang lingkup atau ukuran gerakan aktivis maka culture jamming dapat dikelompokkan dalam aksi gerakan skala kecil, berbiaya rendah, kelompok kecil, dan memanfaatkan media mikro. Berdasarkan karakteristik tersebut internet yang memungkinkan siapapun menjadi produsen sekaligus konsumen informasi sangat menjawab kebutuhan culture jammer untuk memulai gerakan secara individual maupun kelompok kecil. Pilihan saluran serta pesan pun dapat dibuat sesuai kebutuhan gerakan. Gerakan pun bebas dimulai dimanapun karena internet memungkinkan desentralisasi.


Berikutnya bila dilihat dari aspek stance,sikap gerakan culture jamming ditandai dengan hadirnya pesan kesadaran subkultur berupa pengetahuan kelompok, solidaritas, serta pemulihan makna dan ironi dalam bentuk humor, satire, dan parodi. Kreatifitas dari aktivitis dan pekerja seni yang menjadi penggerak culture jamming dalam menciptakan pesan perlawanan sangat dimungkinkan dengan adanya konvergensi media. Humor, ironi dan satire dapat disajikan dalam beragam konten mulai dari teks, audio, dan video di satu platform. Pesan perlawanan menjadi variative dan lebih menarik.


Pada aspek ketiga yakni agency and action, aksi dan peran aktivis sebagai agen perubahan dalam culture jamming dapat bersifat Intervensionist yakni menciptakan alternatif dari kondisi yang ada melalui aksi nyata dan perishable, berlangsung dalam jangka pendek, berpindah, respon sangat cepat dan sementara. Internet dan jejaring sosial memungkinkan pelaku gerakan menciptakan komunitas yang aktif menciptakan pesan perlawanan setiap saat dan memadukannya dengan aksi offline juga dengan memanfaatkan media baru sebagai media untuk koordinasi dan mobilisasi. Kemudahan dalam menggunakan teknologi media baru bagi penggunanya dalam menentukan pesan, target sasaran hingga durasi gerakan pun menjadi keuntungan tersendiri bagi culture jammer.


Kritik terhadap culture jamming

Ketika culture jamming menjadi populer karena mengkritisi dengan menggunakan produk budaya populer melalui humor, ironi dan satire yang sangat menarik perhatian audiens, pada gilirannya cara ini pun ditiru oleh budaya mainstream itu sendiri. Dalam beberapa studi terhadap culture jamming menurut Leah A. Lievrouw ditemukan beberapa temuan penting. Pertama, sekalipun intervensi dari gerakan culture jamming terhadap budaya populer iklan terhitung kecil namun gerakan semacam ini tetap menjadi tantangan tersendiri sekalipun untuk kurun waktu yang relatif singkat.


Kedua, cuture jamming sangat efektif menyebarkan humor, ironi, kesenangan, permainan dan absurditas sebagai senjata untuk mengekpos masalah sosial, ekonomi dan politik juga dalam menggalang pendukung dan menyatukannya dalam aksi. Pesan yang menarik, interaktif dengan daya jangkau luas menjadi kekuatan baru culture jamming.


Ketiga, aktivis seni dan teknologi saat ini memiliki potensi yang lebih besar dalam menjangkau dan memengaruhi khalayak, dengan penggunaan teknologi media baru sebagai platform, baik untuk menciptakan karya-karya baru dan membuat masyarakat tertarik. Di era yang memungkinkan siapapun menjadi produsen pesan, isu yang kuat serta ide kreatif dari culture jammer akan menjadi magnet yang menarik pendukung gerakan perlawanan tanpa dibayangi kekhawatiran bahwa cara serupa dengan mudah ditiru oleh budaya yang dikriitisi.


Editor: Naurissa Biasini

730 views0 comments

Comentarios


Post: Blog2_Post
bottom of page