‘Sebagai jejak yang Yang Tak Terbatas (the infinite), wajah orang lain tidak akan
dapat dibunuh atau dihancurkan’ (Levinas).
Oleh: Isti Purwi Tyas Utami
Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya
Sepanjang tahun 2020 hingga awal 2021 masyarakat Indonesia menyaksikan banyak sekali peristiwa traumatis. Hampir satu tahun sejak Presiden menyatakan Indonesia darurat Corona masyarakat masih dicekam kekhawatiran oleh pandemi yang merenggut banyak korban jiwa serta meninggalkan trauma yang mendalam bagi keluarga pasien. Awal tahun 2021 pun masyarakat masih dikejutkan dengan tragedi kecelakaan pesawat hingga serangkaian bencana alam yang melanda beberapa daerah. Tentu dapat difahami bila berbagai peristiwa di luar batas kewajaran tersebut mengundang liputan berbagai media massa di lingkup daerah maupun nasional.
Media massa masih memiliki peran besar dalam menyajikan informasi berbagai peristiwa tersebut berikut penanganan dampak yang ditimbulkan untuk khalayak luas. Akan tetapi memberitakan berbagai peristiwa traumatis bukanlah hal yang sederhana. Selain adanya korban jiwa, cedera fisik, dan kerugian material, ada dampak psikis dari korban dan keluarga. Tidak jarang ditemui peliputan media yang sangat tidak peka terhadap korban dan keluarga dengan dalih ingin menyampaikan kondisi terkini dan menyajikan hal berbeda dengan media pesaing.
Peristiwa Traumatik
Di dalam panduan peliputan bagi jurnalis, peristiwa traumatik dijelaskan sebagai peristiwa yang terjadi tiba-tiba, mengerikan atau menimbulkan rasa takut teramat sangat, mengancam keutuhan fisik dan mental, serta meninggalkan dampak yang membekas pada mereka yang mengalami atau menyaksikan peristiwa dari sisi fisik, pikiran, perasaan hingga perilaku. Selain itu peristiwa traumatis pun dapat dibedakan menjadi peristiwa traumatis insidental dan bekelanjutan. Disebut insidental jika peristiwa hanya terjadi satu kali namun menimbulkan dampak psikologis yang berkepanjangan. Apabila peristiwa terjadi terus-menerus dengan dampak berkelanjutan dan menimbulkan trauma berlapis maka dapat disebut sebagai peristiwa traumatik berkelanjutan.
Pandemi Covid 19 yang berkepanjangan tidak dapat dipungkiri telah menimbulkan trauma mendalam terutama bagi warga masyarakat yang kehilangan anggota keluarganya. Rasa kehilangan semakin dalam ketika mereka harus mengalami stigmatisasi dari lingkungan sekitar. Dalam talk show Rosi, Kompas TV yang bertajuk ‘Duka Dokter Duka Indonesia’, yang mengulas data IDI mengenai ratusan dokter di Indonesia wafat selama pandemi beberapa waktu lalu terungkap bagaimana stigma masyarakat sangat kuat menerpa pasien dan keluarga.
Salah satu narasumber drg. Bobi Kurniawan yang adalah putra almarhum dr. Heru Sutantyo, mengisahkan ketika ayahnya tengah dirawat karena diduga terpapar virus, almarhum Ibunya sangat tertekan melihat tayangan berita TV yang menampilkan foto suaminya muncul secara berulang tanpa konfirmasi dari media pada pihak keluarga. Tak berselang lama setelah ayahnya wafat, Ibu drg Bobi pun berpulang usai mengalami depresi. Dalam kesempatan tersebut Rosi selaku pembawa acara pun meminta maaf karena tidak menduga bahwa pemberitaan yang dilakukan media dapat melukai perasaan keluarga pasien, sekalipun tujuannya adalah memberikan informasi terkini seluas-luasnya pada masyarakat.
Kecelakaan transportasi yang memakan banyak korban merupakan peristiwa duka yang tidak akan terlupakan oleh keluarga korban sepanjang hayat. Dalam beberapa pemberitaan kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 masih banyak ditemukan bentuk ketidakpekaan jurnalis terhadap narasumber yang tengah mengalami duka mendalam. Ketidakpekaan jurnalis tampak pada penggunaan diksi mengenai tubuh korban dengan menggunakan kata potongan tubuh, mewawancarai keluarga dengan menanyakan perasaan dan firasat tentang peristiwa, mewawancarai orang sekitar tempat tinggal tentang pribadi korban semasa hidup, hingga mengemas berita dengan musik yang menyayat agar pemberitaan terkesan lebih dramatis. Selain itu pemilihan narasumber terkait peristiwa kecelakaan pun tidak semua kompeten sungguh di bidangnya hingga pemberitaan cenderung diwarnai spekulasi.
Dua gambaran mengenai bentuk ketidakpekaan jurnalis dalam pemberitaan peristiwa traumatik di atas bukan merupakan hal yang baru. Ada kecenderungan pengulangan cara peliputan yang sama ketika terjadi peristiwa traumatik yang lain. Contoh yang paling nyata adalah pemberitaan dalam kecelakaan pesawat dari waktu ke waktu. Pemberitaan bukan sekedar menyampaikan perkembangan penanganan kasus kecelakaan, lebih dari itu peliputan yang dilakukan tanpa sungkan menerobos ruang-ruang personal keluarga korban yang tengah berduka. Tayangan berita yang merupakan produk jurnalistik pun dikemas serupa drama yang penuh air mata. Tidak banyak media yang menampilkan narasumber ahli yang kredibel dan dapat menjauhkan berita dari kesimpangsiuran informasi yang justru menambah duka keluarga korban.
Etika Wajah Orang Lain
Jurnalis sebagai pekerja etis mempunyai tugas utama untuk menyajikan kebenaran pada publik. Namun bukan berarti jurnalis dapat menempuh cara apapun demi menyajikan kebenaran sebuah peristiwa. Ada hak orang lain dalam hal ini narasumber peristiwa serta khalayak yang harus menjadi rambu-rambu dalam melaksanakan tugas peliputan. Ada wajah orang lain yang menuntut pertanggungjawaban dari berita berikut dampak yang dihasilkan.
Perjumpaan dengan ‘Wajah Yang lain’ merupakan dasar dari konsep etika menurut Emmanuel Levinas. Wajah dalam hal ini bukan sekedar wajah dalam arti fisik dengan mata, hidung dan mulut namun lebih dari itu wajah orang lain adalah totalitas kehadiran diri yang lain. Wajah dapat menjadi personifikasi dari kehadiran total orang lain yang dijumpai setiap hari. Dalam konteks pekerjaan seorang jurnalis yang meliput peristiwa traumatis ‘Wajah Yang lain’ adalah kehadiran total seorang pasien covid 19, seorang korban kecelakaan pesawat, seorang anggota keluarga yang kehilangan orang terkasih, hingga seorang penonton yang menanti kebenaran mengenai peristiwa yang diberitakan. Relasi seseorang dengan ‘Wajah Yang lain’ bersifat etis dan langsung. Kehadiran ‘Wajah Yang lain’ ini selalu menuntut pertaggungjawaban, bahkan kehadirannya tidak dapat dibunuh.
Pertanggungjawaban terhadap ‘Wajah Yang lain’ dalam konteks peliputan peristiwa traumatik tak lain adalah melaksanakan peliputan yang memberikan ruang bagi korban dan keluarga dalam kedukaannya. Korban dan keluarga berhak untuk tidak diusik privasinya. Hal ini sejalan dengan kode etik jurnalistik pasal 2 yang menyebutkan “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”. Wujud sikap profesional dilakukan dengan menghormati pengalaman traumatik narasumber sejak peliputan hingga penyajian berita.
Etika wajah orang lain yang menekankan pentingnya pertanggungjawaban seorang jurnalis pada korban dan keluarga dalam pemberitaan peristiwa traumatik pun sejalan dengan prinsip hormat terhadap person menurut Immanuel Kant. Prinsip ini berbunyi “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia entah di dalam person mu atau di dalam person orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan semata-mata sebagai sarana belaka”. Jurnalis tidak seharusnya memperlakukan korban dan keluarga sebagai istrumen/alat/sarana untuk pemenuhan kepentingan media semata dengan menafikan nilai-nilai kemanusiaan serta kepatutan dalam sebuah karya jurnalistik.
Prinsip hormat terhadap person, yang merujuk pada rumusan imperatif kategoris Kant dalam konteks pemberitaan menuntut jurnalis untuk: (1) memperlakukan semua orang secara adil, baik sebagai obyek berita, sumber berita, maupun sebagai khalayak; (2) menyajikan berita sebaik mungkin sehingga berita itu menjadi kebenaran yang dapat dirujuk semua pihak untuk membuat penilaian atau keputusan yang tepat.
Ketika jurnalis kembali mengingat tujuan utama peliputan persitiwa traumatis adalah untuk pemenuhan informasi dan kontrol sosial, dengan tetap menghormati pengalaman traumatis korban dan keluarga, maka pertangungjawaban terhadap ‘Wajah Yang lain’ pun tunai sudah.
Editor: Naurissa Biasini
Commentaires