Oleh: Isti Purwi Tyas Utami
Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Jaya
Era digital memunculkan habitus baru terkait ‘tawuran’ di masyarakat. Siapapun bisa terlibat tawuran tanpa harus turun ke jalan dan adu otot. Cukup duduk manis sambil minum kopi dengan gawai di tangan sebagai gaman, setiap orang bisa langsung ikut tawuran opini. Tawuran menjadi semakin panas bila opini dipatik hoaks yang menyebar secara viral, menyulut kegaduhan dan polarisasi di masyarakat. Pelaku tawuran opini pun tak terkecuali mereka yang kenyang ‘makan sekolahan’.
Februari 2018, seorang dosen sebuah universitas swasta ternama di Yogyakarta diciduk karena memposting hoaks tentang dibunuhnya seorang Muazin oleh orang yang berpura-pura sebagai orang gila. Maret 2018 seorang guru di Pematang Siantar, menyebarkan hoaks soal Megawati yang meminta azan distop karena mengganggu. Mei 2018, kembali seorang dosen di sebuah universitas negeri di Sumatera Utara diciduk setelah menyebarkan hoaks ujaran kebencian terkait kasus bom bunuh diri di Surabaya. Ketiga kasus tersebut menunjukkan pelaku bukanlah orang yang gagap dengan perangkat teknologi, tetapi toh bisa juga menjadi perpanjangan tangan bot yang mengamplifikasi kabar palsu.
Homo Digitalis
Revolusi digital telah membawa perubahan pada cara manusia berkomunikasi yang akhirnya memengaruhi gaya hidup serta bagaimana memandang dan bersikap terhadap realitas. Bila di era kejayaan media massa khalayak bersifat pasif, di era media digital setiap orang menjadi prosumen, produsen sekaligus konsumen pesan.
Manusia menggunakan media sekaligus menjadi media penyalur pesan. Eksistensi seseorang banyak ditentukan oleh aktivitasnya di media digital dengan posting, uploading hingga chatting. Rafael Capurro dalam bukunya ‘Homo Digitalis’ menggambarkan saat ini manusia hidup di tengah masyarakat digital interaktif, yang memungkinkannya terlibat dalam sejarah dengan memengaruhi komunikasi media digital, bukan hanya menjadi penonton semata.
Namun kemudahan dan kenyamanan komunikasi gratis yang dimungkinkan internet tidak diikuti dengan pemahaman bahwa komunikasi digital interaktif selain memberikan kemungkinan positif juga membawa kemungkinan negatif berupa eksploitasi, pengawasan, penyitaan hingga tindakan kriminal.
Kemudahan Teknologi, Kebebasan Media Digital dan Brutalitas
Ciri utama suatu teknologi yang berhasil adalah kemudahan penggunaan dan murah. Media digital diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia berkomunikasi secara intens dan cepat layaknya komunikasi interpersonal seperti layanan chatting dan video call sekaligus kebutuhan komunikasi pada level yang lebih luas, komunikasi kelompok, publik bahkan global seperti media sosial. Perkembangan teknologi serta industri media digital pun memungkinkan pengguna memeroleh perangkat dan layanan media digital dengan harga yang semakin murah dari waktu ke waktu.
Manusia dibuat nyaman oleh media digital dengan segala tawaran kemudahannya. Kemudahan yang harus dibayar dengan memberikan data personal sebagai syarat utama. Data personal terkait selera, sikap, dan pilihan dalam berbagai aspek lalu menjadi konsumsi publik dan
dimanfaatkan dengan baik oleh pengelola aplikasi digital untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ekonomi dan politik.
Para pemilik kepentingan pun semakin diuntungkan oleh kemajuan teknologi yang mampu menyajikan data secara detil dalam jumlah banyak. Pemanfaatan data personal pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica untuk pemenangan Trump menjadi bukti nyata. Selain penggunaan data pribadi pengguna Facebook, Trump pun memanfaatkan platform lain seperti Snapchat dan Twitter.
Persoalannya tidak setiap pengguna internet memahami bahwa data personal mereka mungkin dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Teknologi Filter bubble menyediakan feed yang sesuai dengan selera dan pilihan personal pengguna media sosial. Layar gawai pengguna media sosial akan dibanjiri berbagai informasi mengenai hal-hal yang disukainya saja, jarang sekali tawaran informasi yang berbeda dengan pilihannya, termasuk berita sensitif menyangkut agama dan politik.
Revolusi digital pun menawarkan kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi gatekeeper di media digital. Media digital menjadi semacam ruang yang sangat bebas karena tidak seorang pun menguasai ruang dan waktu di dalamnya. Siapapun bisa mengunggah informasi personal dan diakses ribuan netizen. Konten yang sifatnya personal bisa setiap detik menjadi konsumsi publik dan bersifat politis. Apa yang disuka, dikagumi, diyakini itulah yang diunggah dan disebarluaskan.
Lalu bagaimana dengan kebenaran? Kebenaran yang lahir dalam masyarakat digital adalah kebenaran yang dapat diciptakan setiap penguna dan menjadi semakin kuat karena terus-menerus disebarkan melalui aktivitas posting, chatting dan sebagainya. Sikap abai terhadap kebenaran media yang sedianya menyaratkan ketepatan dan keakuratan fakta sangatlah biasa.
Kesadaran yang minim tentang karakteristik media digital serta filter buble yang menyajikan informasi sesuai selera personal termasuk konten sensitif, mendorong orang secara tidak sadar menjadi perpanjangan bot. Sebuah teknologi yang dimanfaatkan untuk memicu perdebatan publik dengan mengamplifikasi isu tertentu. Tidak jarang konten yang diteruskan pengguna media sosial adalah hoaks. Semakin viral, makin gaduh pula saluran digital. Pengguna media sosial secara berjamaah menjadi perpanjangan mesin dan menciptakan gaung tertentu - echo chamber.
Tawuran opini yang dipatik pelintiran berita dan kabar kebencian tidak jarang berujung pada brutalitas. Tawuran opini yang semula online tidak menutup kemungkinan berlanjut menjadi persekusi di kehidupan riil-offline. Peristiwa persekusi seorang ibu dan anaknya saat berolahraga saat CFD oleh beberapa orang dari sekelompok massa adalah bentuk brutalitas offline sebagai kelanjutan tawuran opini di media online.
Kebebasan untuk mengunggah dan menyebarkan konten pun terkait dengan identitas individu yang begitu fleksibel di media digital. Pengguna media sosial bisa memilih menggunakan identitas riil, identitas palsu bahkan anonim. Tidak ada kegelisahan yang mengusik karena tidak perlu bertatap muka seperti saat berkomunikasi langsung dengan orang lain.
Pengguna terbiasa abai pada etika komunikasi yang berlaku. Persoalan menjadi semakin pelik ketika yang mengalami kegagapan bukan sebatas masyarakat pengguna media digital, pemerintah selaku regulator pun memiliki kegagapannya sendiri. Khususnya terkait regulasi yang mengatur tata kelola media digital. Undang-udang yang ada saat ini belum efektif mengatasi persoalan-persoalan mendesak seperti penanganan hoaks dan ujaran kebencian.
Mengatasi Kegagapan, Membangun Kesadaran
Diperlukan upaya banyak pihak agar komunikasi media digital menjadi lebih manusiawi. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah sebagai regulator adalah menyusun undang-undang yang memadai dan rinci mengatur tata kelola media digital. Selanjutnya menjamin penegakan undang-undang berikut sanksi hukum.
Keterlibatan lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat sangat pun mendesak terkait literasi media digital berikut etika komunikasi yang berlaku. Sudah saatnya literasi media digital mejadi bagian penting dari kurikulum sekolah mengingat pengguna aktif media digital adalah generasi muda.
Kita perlu mencontoh Brasil yang mewajibkan Analisis Media sebagai bagian dari materi pelajaran siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Salah satu tujuannya adalah memberikan kemampuan siswa mengidentifikasi hoaks. Brasil menyadari sungguh posisi mereka sebagai target pasar internet terbesar ke-4 di dunia tahun 2016. Sosialisasi etika media digital secara luas di masyarakat pun menjadi sangat penting selain penegakan undang-undang.
Upaya lainnya adalah mendorong tumbuhnya komunitas-komunitas kritis yang aktif menangkal penyebaran hoaks. TurnBackHoax misalnya, suatu komunitas online yang bertujuan dalam memerangi informasi palsu yang berawal dari sebuah grup di Facebook. Informasi yang ditulis di Turnbackhoax ini merupakan rangkuman serta arsip dari diskusi yang dilakukan di grup Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH).
Pekerjaan rumah bersama tersebut mendesak untuk segera diselesaikan mengingat kedinamisan media digital sebagai teknologi hybrid yang digunakan dan dikembangkan terus-menerus oleh masyarakat global. Perkembangan yang menjanjikan tantangan akan melahirkan kegagapan baru lainnya bagi homo digitalis.
Editor : Naurissa Biasini
Comments