top of page
  • Writer's picturekompressupj

KETIDAKPASTIAN KOMUNIKASI PEMBELAJARAN DARING, PEMATIK LELAH PSIKIS SISWA SEKOLAH DASAR

Communication is the key to education, understanding and peace. — James Bryce

Ditulis oleh: Isti Purwi Tyas Utami, M.I.Kom

Dosen Tetap Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya


Mental breakdown menjadi permasalahan baru bagi banyak orang tua siswa selama hampir dua tahun pelaksanaan pembelajaran daring akibat pandemi. Gejala yang muncul pada anak-anak umumnya berupa emosi yang tidak stabil, mulai dari murung, marah-marah, menangis hingga puncaknya mogok belajar.


Perjumpaan langsung dengan guru yang sangat minim dalam pola pembelajaran daring menjadi tekanan tersendiri pada siswa sekolah dasar. Perubahan acuan belajar yang sangat dinamis selama pandemi pun semakin mempersulit siswa untuk beradaptasi. Tak pelak orang tua pun turut mengalami stress dengan kondisi ini.



Pada dasarnya kemampuan anak-anak jaman ini beradaptasi dengan cara hidup digital jauh lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya, mengingat sejak lahir hingga mengenal bangku sekolah mereka sudah akrab dengan dunia digital. Pola pikir dan cara belajar pun sangat dipengaruhi oleh media digital.


Survey Microsoft terkait Digital Civility Index menyebutkan bahwa pemahaman mengenai netiket, kredibilitas informasi, dan hoax jauh lebih baik pada generasi Gen Z dan Gen A dibandingkan dengan Gen X dan Gen Y. Social media unrest, hoax serta pemanfaatan media sosial sebagai ajang debat politik justru banyak dilakukan oleh Gen X dan Gen Y, kelompok dengan latar belakang cara hidup budaya analog yang dipaksa beralih cepat ke era digital.


Persoalan hadir ketika generasi yang mapan dengan pola pikir analog ini harus membuat kebijakan di era digital dengan ekosistem yang sangat berbeda. Apa yang dilakukan sejauh ini masih sebatas mengonlinekan kurikulum analog yang pada gilirannya justru membuat frustasi peserta didik.


Anak-anak dalam situasi saat ini masih diperlakukan sebagai objek belum sebagai subjek yang dinilai cukup nalar untuk menyampaikan pendapat dan keluhannya. Kebijakan pembelajaran dan pelaksanaannya ada di tangan guru dan orang tua sepenuhnya. Anak-anak harus menurut seakan orang tua dan guru selalu tahu yang terbaik untuk anak-anak.


Sulit untuk membayangkan bagaimana kualitas SDM di waktu selanjutnya jika tingkat stress sangat tinggi pada Gen Z dan Gen A. Persoalan ini tentu tidak akan tuntas hanya dengan terus mengeluhkan keadaan dan menunggu kebijakan yang lebih berpihak pada peserta didik. Peran orang tua dan guru untuk memahami kesulitan anak-anak sangat penting untuk mengatasi mental breakdown pada anak. Memahami ketidakpastian yang tinggi dalam proses pembelajaran serta mengetahui strategi untuk mengatasi kondisi tersebut menjadi salah satu solusi yang dapat diupayakan.


Ketidakpastian Komunikasi dan Kualitas Komunikasi Interpersonal dalam Pembelajaran


Sekalipun komunikasi langsung melalui aplikasi video conference sudah biasa dilakukan selama pandemi, namun dalam konteks pembelajaran daring saat ini frekuensinya sangatlah minim. Padahal komunikasi secara langsung tidak dapat dipungkiri adalah bentuk komunikasi yang paling efektif termasuk dalam proses pembelajaran.


Dalam kondisi semacam ini anak-anak yang masih butuh pendampingan secara intensif mengalami kondisi ketidakpastian yang sangat tinggi. Anak-anak harus beradaptasi dengan berbagai aplikasi digital, tuntutan tugas di setiap pertemuan dengan pola pembelajaran yang minim perjumpaan dengan guru. Dalam konteks komunikasi ketidakpastian tinggi semacam ini menghadirkan stress pada level kognitif dan perilaku.


Studi mengenai ketidakpastian komunikasi diprakarsai oleh Charles R. Berger dan R.J. Callabrese di tahun 1975. Dalam teori yang dikembangkannya Berger menjelaskan bahwa pelaku komunikasi yang asing satu sama lain akan mengalami ketidakpastian kognitif maupun perilaku saat melakukan komunikasi. Berger dan koleganya kemudian mengidentifikasi tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian tersebut, yakni: (a) mencari informasi dengan strategi pasif, aktif maupun interaktif; (b) merencanakan komunikasi; dan (c) membatasi hal-hal yang memperkuat ketidakpastian (Budyatna, 2015:144).


Dalam konteks pembelajaran daring yang minim perjumpaan langsung anak-anak dengan sosok guru yang menjadi panutan, ketiga strategi tersebut dapat membantu orang tua maupun guru dalam mengatasi kesulitan belajar anak. Memahami kondisi anak selama pembelajaran dapat dilakukan dengan mengamati anak selama proses belajar (strategi pasif), bertanya pada orang lain yang mengenal akrab anak seperti teman-temannya (strategi aktif) dan berdialog secara langsung dengan anak (strategi interaktif).


Merencanakan komunikasi dengan pesan yang mudah difahami dengan bantuan media belajar yang tepat pun dapat mengurangi ketidakpastian komunikasi dalam belajar. Berikutnya membatasi pesan yang justru memperkuat ketidakpastian selama proses belajar berlangsung. Melalui ketiga strategi tersebut diharapkan komunikasi interpersonal yang bekualitas dapat diupayakan selama pembelajaran daring sehingga mengurangi stress kognitif maupun perilaku pada anak.


Harus diakui bahwa kualitas komunikasi interpersonal secara langsung seperti Uniqueness, Irreplaceability, Interdependence, Disclosure, dan Intrinsic reward (Adler, Proctor, 2011:23-24) belum sepenuhnya dapat ditemukan dalam komunikasi yang termediasi oleh media digital bahkan aplikasi video conference sekalipun. Padahal komunikasi interpersonal yang efektif dan humanis sangatlah penting dalam pendidikan anak tingkat dasar. Melalui perjumpaan langsung yang intens keunikan masing-masing anak lebih mudah teramati dengan demikian membantu pendidik untuk menentukan perlakuan yang tepat dalam membantunya belajar.


Tantangan dunia pendidikan di masa transisi terkait kesehatan mental peserta didik adalah persoalan nyata yang juga dipotret oleh PBB dan berbagai lembaga internasional yang menempatkan kesehatan mental anak dan remaja pada peta global risiko 2020.


Dengan menempatkan anak-anak sebagai subjek yang memiliki keunikannya masing-masing serta memahami pergulatannya dalam menghadapi ketidakpastian selama pembelajaran daring setidaknya guru dan orang tua sudah ikut mengambil peran dalam persoalan pendidikan ini tanpa terus-menerus menyalahkan pembuat kebijakan. Upaya ini tentu saja harus tetap dibarengi dengan menyuarakan kebutuhan anak-anak sebagai pertimbangan utama dalam penentuan kebijakan pendidikan di waktu selanjutnya.


Referensi:

Adler, Ronald B. , Proctor II, Ruseel F. (2011). Looking Out Looking In., Canada: Wadswort, Cencage Learning.

Budyatna, Muhammad (2015). Teori-teori Mengenai Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta: Prenada Media Grup.

60 views0 comments
Post: Blog2_Post
bottom of page