top of page
Writer's picturekompressupj

Menebar Azab, Menafikan Adab

Oleh: Isti Purwi Tyas Utami

Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Jaya


Bencana memiliki wajah yang sangat berbeda di era digital ini. Peristiwa kemanusiaan yang seharusnya menumbuhkan empati seketika berganti menjadi azab bagi mereka yang berbeda ideologi dan pilihan politik. Klaim azab semakin kuat ketika ia berulangkali diunggah ke ruang digital.


Paska gempa tektonik beruntun yang melanda Lombok dengan jeda waktu hanya seminggu di tahun 2018, lini masa dipenuhi perdebatan warganet. Perdebatan dipicu oleh sejumlah unggahan warganet yang menyebut gempa sebagai azab akibat merapatnya Tuan Guru Bajang pada capres petahana. Korban jiwa yang berjatuhan tidak mampu menggetarkan penggagas dan pendukung klaim sekalipun irasional. Data yang meyebutkan bahwa Lombok pernah diguncang tujuh gempa sejak 1856 hingga 2013 karena lokasinya berada di wilayah cincin api tidak lagi penting.


Narasi bencana sebagai peristiwa kemanusiaan sangatlah berbeda di era media tradisional dan digital. Di era media tradisional narasi bencana banyak dipengaruhi oleh framing media yang sarat dengan kaidah jurnalistik. Sekalipun logika ekonomi dan waktu membuat beberapa media yang berlomba menyajikan kabar bencana kurang peka terhadap korban, narasi tentang bencana yang beredar di masyarakat tidak sebrutal di era digital.


Era digital memungkinkan setiap orang menciptakan konstruksi sebuah bencana melalui akun media sosial masing-masing. Kualitas konten, waktu dan frekuensi untuk mengunggah ada dalam kendali individu. Setiap orang memiliki kebenarannya masing-masing dan bebas mengunggah kepada siapapun hingga kebenaran yang diyakininya. Inilah wajah baru bencana di era post-truth.


Kata post-truth ditetapkan sebagai The Word of the Year (2016) versi Oxford Dictionaries. Berbeda dengan hoaks yang kontennya menyesatkan, post-truth merujuk pada keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi.


Ada beberapa faktor yang ikut melahirkan gejala post truth dalam kasus gempa Lombok ini. Pertama kegagapan masyarakat dan pemerintah menghadapi teknologi informasi. Euforia

kebebasan berpendapat di media digital tidak disertai pemahaman warganet mengenai literasi digital, komunikasi digital dan kecerdasan emosional digital sebagai indikator kecerdasan digital. Selain itu pemerintah pun mengalami kegagapan tersendiri terkait undang-undang yang mengatur tata kelola media digital dan sosialisasi etika media digital di masyarakat.


Kedua, model jurnalisme bencana sebagian media mainstream di waktu sebelumnya yang kurang peka, malah cenderung mengeksploitasi kesusahan menjadi sesuatu yang lumrah di masyarakat. Bencana menjadi suatu tragedi yang bebas dieksploitasi, sementara narasi tentang kepedulian dan aksi nyata sangat minim. Pendekatan ini diduplikasi warganet di media digital yang memiliki kemampuan akselerasi dan amplifikasi pesan yang lebih dahsyat disbanding media sebelumnya.


Ketiga, polarisasi paska kontestasi politik 2014 yang terus berlanjut, membuat masyarakat sulit berpolitik secara sehat, terutama dalam menghadapi keterbukaan dalam hal perbedaan pilihan politik. Diakui atau tidak elit politik, termasuk sebagian wakil rakyat ikut bertanggung jawab dalam memperkuat polarisasi ini.


Groupthink merupakan istilah yang dikemukakan Irvings Janis (1972) untuk menjelaskan kondisi ketika sekelompok orang membuat keputusan yang tidak masuk akal untuk menolak kebenaran moral yang dipercaya publik.


Sekelompok warganet yang mengunggah klaim gempa sebagai azab di akun media sosial menggambarkan bagaimana individu dirasuki oleh pemikiran kubu politik yang didukung. Rasionalitas kelompok bahkan sah membenarkan keyakinan yang salah dan tidak masuk akal. Pemikiran kritis menjadi anomali. Ilusi dibangun seolah semua anggota memiliki suara bulat.


Kelompok warganet tersebut sadar sungguh akan kekuatan media digital yang mampu menjangkau khalayak luas dalam hitungan detik. Dengan demikian mereka bisa menyebarkan klaim azab bencana untuk menunjukkan warganet di luar kelompoknya salah. Namun di sisi lain media digital pun memungkinkan individu di luar kelompok untuk mengemukakan sanggahan dan kebenaran versi lain- termasuk memungkinkan kontrol dari pengelola aplikasi berdasarkan pelaporan warganet lainnya. Kendati pihak yang berseberangan pun kerap melakukan kebodohan yang sama.


DARURAT LITERASI MEDIA DIGITAL


Ancaman nyata post-truth bagi keberlangsungan masyarakat yang plural dan demokratis menuntut kita cepat tanggap sebelum kegagapan berikutnya lahir karena laju cepat perkembangan teknologi media digital.


Digital Mind by Wix Media

Langkah nyata yang dapat segera diupayakan banyak pihak adalah literasi media digital. Masyarakat yang memiliki kesadaran bermedia digital tentu memiliki kecerdasan digital yang memadai. Digital Intelligence Institute menyebutkan bahwa kecerdasan digital meliputi tujuh aspek yakni hak digital (digital rights), digital (digital literacy), komunikasi digital (digital communication), kecerdasan emosional digital (digital emotional intelligence), perlindungan digital (digital security), keamanan digital (digital safety), penggunaan digital (digital use) dan identitas digital (digital identity).


Dari tujuh aspek tersebut ada tiga bentuk kecerdasan digital yang paling diperlukan terkait gejala post-truth adalah literasi digital, komunikasi digital dan kecerdasan emosional digital.

Pertama, pengguna dengan literasi digital yang baik selain memahami cara kerja komputasi dan penciptaan konten juga memiliki kemampuan berpikir kritis. Artificial Intelegence saat ini mengembangkan aplikasi berbasis Machine Learning dan Deep Learning. Jika Machine Learning memungkinkan manusia memprediksi output berdasarkan input yang telah diolah mesin, dalam Deep Learning manusia tidak harus memberi input karena mesin mampu berpikir secara mandiri. Pengguna media digital harus terlatih membedakan informasi yang diviralkan oleh manusia atau bot.


Kemudian, komunikasi digital selalu terkait dengan pengguna yang berkolaborasi dalam sebuah saluran digital global selama 24 jam penuh. Pesan dalam komunikasi digital bersifat ireversibel, sekali diviralkan tidak mungkin ditarik kembali. Jejak digital akan sulit dihapus. Tak terkecuali klaim berdasar keyakinan personal yang menyesatkan warganet lainnya.


Terakhir kecerdasan emosi digital meliputi kesadaran dan kemampuan pengelolaan emosi serta empati. Pengguna media digital umumnya memiliki kecenderungan meluapkan emosi secara lebih ekspresif lewat saluran digital karena tidak perlu berhadapan langsung dengan orang lain. Mereka seringkali lupa jejak digital dapat ditelusuri dengan mudah.


Dengan berbekal pemahaman pada ketiga aspek kecerdasan digital tersebut warganet diharapkan siap menghadapi berbagai klaim kebenaran personal yang menjejali gawai. Tidak terbatas pada isu bencana namun juga isu lain yang mengancam keberlangsungan masyarakat plural dan demokratis.


Edited and Approved by: Naurissa Biasini

45 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page