top of page
Writer's picturekompressupj

Mengembangkan Paradigma Inovasi yang Tepat untuk Indonesia

Updated: Jan 22, 2021

Oleh: Hana Krisviana, M.Sc.

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya


Ilustrasi untuk Inovasi. Sumber Gambar: Wix Media

Sejak World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporan tahunan (Global Competitiveness Report) Daya Saing Global pada tahun 1979 yang menunjukkan serangkaian faktor penentu daya saing tiap negara, seluruh negara di dunia punya ukuran yang sama untuk bersaing dalam hal memberikan kemakmuran bagi rakyat masing-masing, termasuk diantaranya dengan cara meningkatkan ekonomi warganya. Dalam Global Competitiveness Report, dikatakan ada 12 pilar yang menentukan daya saing suatu negara (Schwab, 2009).


Di antara pilar tersebut, inovasi dipandang sebagai pilar terpenting. Sebab, jika pilar lain seperti infrastruktur (termasuk sumber daya alam) dan kualitas institusi pemerintahan dapat melemah seiring waktu, inovasi tidak akan mengalami hal yang sama. Di tengah era Information Society atau Masyarakat Inovasi dimana teknologi informasi berkembang sangat pesar, kemampuan suatu negara untuk berinovasi sangat penting untuk bisa bertahan di era yang terus berkembang guna mewujudkan kemakmuran bagi rakyatnya.


Dalam hal inovasi, tidak pernah ada “satu ukuran yang cocok untuk semua negara”. Setiap negara, dengan budaya dan situasi uniknya masing-masing membutuhkan model yang berbeda agar bisa sesuai dengan rakyatnya. Sayangnya, saat ini inovasi masih didominasi oleh model Barat, karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara di Amerika Barat, Utara, dan Eropa termasuk negara-negara yang lebih dulu mengambangkan model inovasi dengan memanfaatkan sumber daya mereka—termasuk ilmu pengetahuan dan keterampilan rakyatnya. Jika misalnya negara-negara Amerika Utara cenderung mengutamakan customer, berorientasi untuk mendisrupsi sesuatu, dan inovasi terbuka (open innovation), negara-negara Eropa cenderung menyukai model inovasi yang digerakkan oleh desain tertentu, bermanfaat bagi masyarakat, dan bertanggung jawab untuk lingkungan (Chen, Yin, & Mei, 2018).


Sementara itu, negara dari daerah Asia, Afrika, dan negara yang masih berkembang lainnya tertinggal karena belum mampu mengembangkan inovasinya (Schwab, 2019). Untuk dapat berkembang, negara tersebut harus mampu mengembangkan paradigma inovasi tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi di negaranya. Saat ini, beberapa negara di Asia dan Afrika mulai sadar untuk mengembangkan paradigmanya sendiri. Negara Asia yang terdiri atas berbagai ras yang beragam, mulai mengenal inovasi Jugaad dari India yang mengedepankan pendekatan yang sederhana, fleksibel, dan inklusif terhadap inovasi dan kewirausahaan yang muncul (Prabhu & Jain, 2015).


Kamboja, negara yang termasuk dekat dengan Indonesia juga memiliki paradigma tersendiri dengan memprioritaskan inovasi berbasis kewirausahaan sosial untuk mensejahterakan masyarakatnya (Lyne, Ngin, & Santoyo-Rio, 2017). Lalu, Tiongkok juga mengembangkan holistic innovation model (model inovasi holistik) yang memasukkan unsur budaya dan filosofi Tiongkok dalam model inovasinya (Chen, Yin, & Mei, 2018). Sementara, Korea dan Jepang lebih memilih model inovasi terpusat yang menempatkan pemerintah sebagai figur sentral dalam inovasi nasional, dan sangat mendukung perusahaan besar untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang mendorong inovasi (Lee & Park, 2003, Motohashi, 2005).


Indonesia sendiri adalah salah satu negara berkembang yang belum memiliki model inovasi yang jelas. Sebagai negara yang belum lama ini didapuk sebagai negara berpenghasilan menengah keatas oleh Klasifikasi Bank Dunia, Indonesia masih banyak mengandalkan sumber daya alamnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya memberikan kesejahteraan bagi warganya. Mengingat pentingnya inovasi, Indonesia pada akhirnya tentu harus memiliki paradigma dan model inovasi sendiri yang cocok dengan situasi negara ini, sehingga iklim inovasi dapat berkembang dengan pesat.


Dalam kaitannya dengan dimensi budaya Hofstede di kajian Komunikasi Antar Budaya, budaya Indonesia termasuk dalam budaya kolektivis (Hofstede & Hofstede, 2005), di mana warganya cenderung terintegrasi ke dalam kelompok, sehingga akhirnya tercipta kelompok yang kuat dan kohesi. Masyarakat dalam budaya kolektivis cenderung saling melindungi kelompoknya dalam berbagai aspek. Hal ini berbeda dengan negara Barat dan Eropa yang individualis dan mementingkan kepentingan diri sendiri. Berdasar penelitian Hofstede (2011), kolektivisme banyak tampak di negara berkembang, seperti contohnya di Indonesia. Perbedaan ini tentu mempengaruhi bagaimana paradigma dan model inovasi harus dikembangkan di Indonesia, dan tidak melulu berkiblat pada negara Barat.


Budaya kolektivis Indonesia terutama tampak dalam konsep “tolong-menolong” yang ada di setiap suku, dalam konteks yang berbeda namun mirip. Konsep ini diterima secara universal, mulai dari suku Jawa (“tulung tinulung”), Banjar (“betutulungan”), hingga Batak (“marsiadapari”), dan terinternalisasi dalam budaya masing-masing (Lestari, 2016; Istiqomah & Setyobudihono, 2014, Sipahutar, 2017, Higgins & Higgins, 1963). Konsep serupa juga diwujudkan dalam Pancasila, yang pilar ketiga-nya, Persatuan Indonesia, mendorong kebersamaan, kekeluargaan, dan kerjasama sosial hingga masyarakat bersatu. Dalam Pancasila, hal tersebut pada akhirnya diharapkan dapat membawa kemakmuran bagi seluruh warga negara.


Dari sini, paradigma dan model inovasi Indonesia seharusnya diarahkan untuk memanfaatkan hal tersebut, seperti hubungan yang kuat dengan kelompok, loyalitas dengan kelompok, kepekaan terhadap kebutuhan orang lain, bekerja untuk kebutuhan bersama dan tujuan yang sama. Disini, hal ini dapat terlihat di startup Indonesia, yang kebanyakan memiliki tujuan tertentu untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat dan sudah menahun. Seperti contohnya salah satu unicorn Indonesia, Gojek, yang didirikan untuk membantu menyelesaikan masalah sehari-hari bagi masyarakat Indonesia. Kemudian, ada Bukalapak, salah satu pionir e-commerce di Indonesia yang kemudian berkembang untuk membantu masyarakat urban hingga rural dengan digitalisasi teknologi yang mereka miliki. Ada pola dari startup Indonesia yang cenderung memprioritaskan penyelesaian masalah di masyarakat, ketimbang ekspansi global seperti startup di negara Barat.


Di sini, startup-lah yang harus jadi penggerak inovasi, karena kemauannya untuk merasakan permasalahan masyarakat dan rasa solidaritasnya dengan masyarakat yang didorong oleh dasar budaya kolektif. Startup tentu harus memiliki ekosistem pendukung, seperti institusi finansial untuk pendanaan, kemudian industri untuk membantu dalam hal kerjasama, network, dan pengembangan bisnis. Peran pemerintah disini justru sebagai fasilator dalam ekosistem, dimana mereka harus mengembangkan kebijakan inovasi yang mendukung startup dan yang sesuai dengan budaya Indonesia. Pada akhirnya, hasil inovasi tersebut akan diseminasi dan digunakan untuk meningkatkan taraf hidup seluruh elemen masyarakat, termasuk masyarakat yang selama ini terpinggirkan.


Kajian menyeluruh masih perlu dikembangkan terkait paradigma dan model inovasi berbasis budaya kolektif, terutama konsep “tolong-menolong” yang sudah terinternalisasi di suku di Indonesia dan kaitannya dengan Pancasila Sila Ketiga. Dalam perkembangannya, diharapkan, dengan adanya paradigma dan model inovasi yang sesuai, daya saing Indonesia akan berkembang lebih pesat oleh dorongan inovasi dan pada akhirnya, dapat memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat di negara ini.


Referensi:


Chen, Jin, Ximing Yin, and Liang Mei. 2018. Holistic Innovation: An Emerging Innovation Paradigm. International Journal of Innovation Studies 2: 1–13. https://doi.org/10.1016/j.ijis.2018.02.001.

Hofstede, G., and G.J. Hofstede. 2005. Culture and organizations: Software of the mind, 2nd ed. New York: McGraw-Hill.

Hofstede, G. (2011). Dimensionalizing Cultures: The Hofstede Model in Context. Online Readings in Psychology and Culture. https://doi.org/10.9707/2307-0919.1014

Istiqomah, Ermina, and Sudjatmiko Setyobudihono. 2017. Nilai Budaya Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan: Studi Indigenous. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan 5: 1. https://doi.org/10.26740/jptt.v5n1.p1-6.

Lee, Jeong-dong, and Chansoo Park. 2006. Research and development linkages in a national innovation system: Factors affecting success and failure in Korea. Technovation 26: 1045–1054. https://doi.org/10.1016/j.technovation.2005.09.004.

Lestari, Rini. 2017. Transmisi Nilai Prososial Pada Remaja Jawa. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi. https://doi.org/10.23917/indigenous.v1i1.3043.

Lyne, Isaac, Chanrith Ngin, and Emmanuel Santoyo-Rio. 2018. Understanding social enterprise, social entrepreneurship and the social economy in rural Cambodia. Journal of Enterprising Communities: People and Places in the Global Economy 12: 278–298. https://doi.org/10.1108/JEC-11-2016-0041.

Motohashi, Kazuyuki. 2005. University–industry collaborations in Japan: The role of new technology-based firms in transforming the National Innovation System. Research Policy 34: 583–594. https://doi.org/10.1016/j.respol.2005.03.001.

Prabhu, Jaideep, and Sanjay Jain. 2015. Innovation and entrepreneurship in India: Understanding jugaad. Asia Pacific Journal of Management. https://doi.org/10.1007/s10490-015-9445-9.

Sipahutar, Salli. 2017. Kearifan Lokal Marsiadapari Dalam Aktivitas Etnik Batak Toba Di Desa Gempolan Siku Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Seibamban. Universitas Negeri Medan.

Schwab, Klaus. 2019. Global Competitiveness Report 2019. World Economic Forum.


Editor: Naurissa Biasini

552 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentarios


Post: Blog2_Post
bottom of page