Ditulis oleh: Isti Purwi Tyas Utami, M.I.Kom
Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya
A myth is a way of making sense in a senseless world. Myths are narrative patterns that give significance to our existence. — Rollo May
Panic buying tak ubahnya seperti virus menjangkiti warga Jakarta awal Juli 2021. Gejalanya serupa yakni keinginan memborong “Susu Beruang” sebanyak mungkin agar terhindar dari ancaman virus Covid-19 varian baru yang lebih ganas. Warga asyik berebut hingga stok produk menipis bahkan langka di pasaran. Keyakinan warga Jakarta akan khasiat “Susu Beruang” yang mampu mencegah penyakit telah hidup sejak lama. “Susu Beruang” ini dianggap sebagai obat berkhasiat untuk menangkal berbagai penyakit.
Salah satu khasiat yang diyakini banyak orang adalah bahwa “Susu Beruang” dapat menjaga kesehatan paru, karenanya banyak orang berburu susu ini di masa pandemi Covid-19. Jika diamati keyakinan semacam ini tidak ditemui pada warga masyarakat di kota-kota lainnya. Namun kebiasaan ‘default’ di berbagai daerah terhadap khasiat obat tertentu mudah ditemukan dan mirip dengan gejala “Susu Beruang”. Misalnya saja kebiasaan ‘default’ meminum jeruk nipis dan kecap saat mulai batuk-batuk di beberapa daerah. Bedanya jika di Jakarta kebiasaan ‘default’ soal obat berkhasiat bukanlah jamu atau ramuan tradisional namun ramuan pabrikan yakni “Susu Beruang”. Lalu dari mana keyakinan soal susu sebagai obat berkhasiat ini muncul di benak warga?.
Mitos dalam Iklan
Ketakutan akan rasa sakit dan kematian menjadi pemicu manusia untuk berusaha bertahan sekalipun dengan tindakan yang tidak rasional. Emosi negatif semacam inilah yang digarap dengan baik oleh pengiklan untuk menawarkan produknya sebagai solusi mengatasi rasa takut akan sakit dan kematian tersebut. Sebuah iklan produk sepintas lalu tampak hanya berisi informasi seputar produk, namun jika dikaji lebih jauh ada mitos tertentu yang diperlukan iklan agar berhasil menanamkan produk di benak target sasaran.
Rolland Barthes menjelaskan mitos sebagai pengkodean makna dan nilai-nilai sosial yang sifatnya arbitrer atau konotatif sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Mitos dihasilkan melalui hubungan antara tanda (signifier) dan petanda (signified) dari sebuah tanda (sign). Mitos selanjutnya membentuk kesadaran palsu penggunanya dan menggiring mereka untuk percaya terhadap sesuatu yang diiklankan. Baudrilliard juga menegaskan pentingnya tanda dari objek-objek hasil konstruksi industri. Dalam teori komodifikasinya Ia menjelaskan bahwa penggunaan semiologi dilakukan karena konsumsi manipulasi berbagai tanda secara aktif. Iklan menyertakan mitos melalui tanda-tanda yang digunakannya untuk membentuk makna tertentu dalam bawah sadar target sasarannya. Mitos-mitos dalam iklan pada umumnya mengambil simbol-simbol dari budaya yang ada dan hidup di tengah masyarakat.
Hal yang sama pun dilakukan oleh brand “Susu Beruang”, produk susu sapi murni yang disterilisasi namun menggunakan simbol beruang sebagai logonya. Beruang sebagai hewan liar berbadan besar dikenal kemampuannya berhibernasi selama musim dingin karena memiliki cukup cadangan energi setelah makan sangat banyak. Pada musim dingin cadangan lemak yang dimiliki tubuhnya dapat membantunya bertahan. Simbol beruang digunakan untuk membangun makna manfaat susu sapi murni yang disterilisasi ini mampu membuat konsumennya memiliki daya tahan tubuh yang baik.
Dalam salah satu iklannya brand “Susu Beruang” pun menggunakan simbol naga yang terbentuk dari cairan susu tersebut. Naga merupakan hewan mitologis dalam tradisi Cina yang melambangkan perlindungan dan keberuntungan. Naga diyakini sebagai mahluk mitologis yang memiliki energi dan kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan hewan yang lain. Simbol naga digunakan oleh “Susu Beruang” untuk membangun makna manfaat baik susu yang memberikan perlindungan dan keseimbangan untuk tubuh.
Selain itu jika melihat sejarah, brand “Susu Beruang” mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1930. Awalnya produk ini banyak dijual di toko obat-obatan Cina. Sehingga banyak orang meyakini bahwa susu ini dapat berkhasiat sebagai obat. Narasi yang muncul melalui logo, iklan maupun cerita sejarah yang turun-temurun inilah yang memperkuat mitos “Susu Beruang” sebagai obat berkhasiat memulihkan orang sakit dan menjaga kesehatan.
Antara Mitos dan Realitas
Kekuatan mitos yang lahir melalui narasi yang dibangun produk lewat logo, iklan juga kisah sejarah turun-temurun mengenai produk “Susu Beruang”terbukti sukses bercokol di benak khalayak. Tindakan irasional berburu produk kemanapun dengan harga setinggi apapun tetap dilakukan demi mengatasi kecemasan dan ketakutan pada rasa sakit dan kematian.
Jika dilihat lebih jauh susu sterilisasi ini tidak ubahnya dengan produk susu sterilisasi lainnya. Yang membedakan adalah kemasan kalengnya. Asumsi terkait khasiat susu yang menyembuhkan sakit termasuk gejala yang menyertai orang yang terpapar Covid-19 pun belum dibuktikan secara klinis. Mitos yang dibangun oleh brand dalam jangka waktu yang sangat lama menjadikannya stabil dan dianggap sebagai kebenaran. Belum lagi masyarakat tidak memiliki literasi gizi dan kesehatan yang memadai khususnya terkait Covid-19.
Berkaca dari kasus panic buying “Susu Beruang” di tengah kekalutan warga menghadapi pandemi, maka klaim berlebihan terkait kualitas produk semacam ini tentu perlu diklarifikasi agar tidak menyesatkan khalayak banyak. Selain itu perlu sikap kritis konsumen pun diperlukan di masa pandemi saat ini. Konsumen dapat secara mandiri memperkaya literasi gizi dan kesehatan. Membiasakan diri untuk mencermati klaim produk kesehatan serta fakta yang sebenarnya. Dengan demikian konsumen tidak perlu larut dalam kepanikan.
Approved by: NB
Comments