“You can only understand people if you feel them in yourself.” – John Steinbeck
Ditulis oleh: Naurissa Biasini, M.I.Kom
Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya
Beberapa waktu lalu ramai dunia media sosial dan berbagai pemberitaan online terkait salah satu Youtuber terkenal di Indonesia yang mengeluarkan pernyataan bahwa ia memutuskan untuk hidup Childfree. Mengutip Oxford Dictionary, childfree adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi tidak memiliki anak, terutama karena pilihan (Kumparan, 2021).
Banyak yang mengatakan bahwa istilah childfree ini dekat dengan feminisme, di mana perempuan memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Namun apakah iya childfree ini semata-mata karena keputusan perempuan saja? Bukankah memiliki anak (dalam konteks pernikahan) adalah keputusan dua belah pihak? Perlu dipahami bahwa feminisme itu adalah gerakan kesetaraan loh, jadi dalam hal ini perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama.
Nah, mungkin saya akan bahas terkait hubungan childfree dan feminisme ini di tulisan yang lain ya. Dalam tulisan kali ini, saya lebih ingin membahasnya dari segi persepsi dan empati masyarakat Indonesia terhadap konsep Childfree ini.
Ketika sang Youtuber mengeluarkan pernyataan tersebut dalam sebuah wawancara, sontak netizen Indonesia berkomentar. Mulai dari yang menghormati keputusan Gita Savitri, sang Youtuber, menyayangkan, hingga membenci keputusan tersebut. Jika dikaitkan dengan proses komunikasi, ketika seseorang menerima sebuah pesan, ada proses persepsi yang berjalan di pikirannya. Proses ini dimulai dari Seleksi yaitu ketika kita menyeleksi berbagai informasi yang kita dapatkan dari lingkungan. Kemudian diikuti oleh Organisasi, yaitu ketika kita menyusun informasi yang terpilih tadi menjadi sebuah informasi yang terorganisir.
Proses berikutnya adalah Interpretasi, yaitu ketika menempelkan makna terhadap pesan yang telah diseleksi dan diorganisir. Kemudian proses terakhir adalah negosiasi, proses di mana kita memutuskan bagaimana tanggapan kita terhadap pesan tersebut. Proses ini sebenarnya tidak mudah, karena biasanya setiap orang telah memiliki referensi pribadi maupun pengalaman langsung yang dapat mempengaruhi. Namun, jika empati kita tidak digunakan dalam proses ini, maka proses menghakimi dapat terjadi.
Hal ini yang kemudian banyak terjadi di berbagai hal yang viral di Indonesia, termasuk masalah childfree ini. Jika kita menggunakan empati saat menerima sebuah pesan, proses menghakimi bisa jadi hilang. Empati adalah kemampuan seseorang dalam menciptakan ulang perpektif orang lain, untuk mengalami dunia dari sudut pandang orang lain (Adler, Russel, Proctor, 2017). Memang mustahil untuk menciptakan pengalaman dari perspektif orang lain dengan sempurna, namun kita tetap bisa lebih memahami bagaimana dunia pandangan orang lain tersebut.
Ketika masyarakat Indonesia kemudian marah bahkan membenci keputusan Gita Savitri, sebenarnya apakah kita telah paham bagaimana pandangan Gita tentang memiliki anak? Tidak bolehkah seseorang memiliki pandangan yang berbeda? Tidak bolehkan seseorang mengambil keputusan yang memang ia anggap baik untuk dirinya, selama tidak menyulitkan orang lain? Jika Gita Savitri hamil apakah kita akan ramai-ramai patungan dalam memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya nanti? Atau apakah jika Gita Savitri tidak hamil, kemudian banyak perempuan lain menjadi mandul? Kayaknya gak deh...
Sebelum kita menghakimi seseorang akan keputusan yang ia ambil, ada baiknya kita berhenti sejenak sebelum menjalankan jari-jari lincah kita ke dalam kolom komentar. Saat berhenti tersebut, biarkan empati kita tumbuh dan mencoba memahami keputusan yang diambil orang lain. Dan jika tidak ada hal baik yang bisa kita ungkapkan, bukankah lebih baik kita diam, daripada kita menorehkan luka di hati orang lain?
Sumber referensi:
Looking Out Looking In: Fifteenth Edition Ronald B. Adler, Russell F. Proctor II
https://kumparan.com/berita-hari-ini/apa-itu-childfree-dan-bagaimana-dampaknya-1wOU0f0qCZR/3
Comments