Ditulis oleh: Suci Marini Novianty, M.Si
Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Jaya
Pandemi Covid 19 yang masih terjadi hingga saat ini, diperparah dengan maraknya penyebaran disinformasi. Disinformasi mengenai Covid 19 ini memiliki taraf bahaya yang sama dengan virusnya.
Di Indonesia, pesan – pesan hoax dapat ditemui di berbagai media sosial. Namun, paling mudah hadir dalam aplikasi bertukar pesan, WhatsApp. Per tahun 2020, jumlah pengguna WhatsApp di dunia mencapai dua miliar pengguna aktif bulanan. Di Indonesia, 83% pengguna internet, juga menggunakan aplikasi ini. Bahkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh dosen prodi Ilmu Komunikasi UPJ, untuk mereka yang lahir pada periode tahun 1946 – 1964 (baby boomer), WhatsApp menjadi aplikasi utama untuk membuat up to date. Pun pesan – pesan yang beredar di dalamnya dipercaya benar. Padahal, menurut Ketua Dewan Pers Indonesia di tahun 2018, bahwa 95% pesan kesehatan yang beredar di WhatsApp adalah hoaks.
Kisah dari seorang pengguna Instagram, @helmiindrarp, tentang ayahnya yang meninggal dunia akibat virus Covid-19 dengan diabetes sebagai penyakit bawaannya sungguh menyedihkan. Helmi menceritakan bahwa ayahnya di Tegal, Jawa Tengah, sempat menolak dibawa ke rumah sakit karena kepercayaannya pada pesan-pesan hoaks yang sampai di tangannya. “Papah meninggal karena percaya dengan berita hoaks yang tersebar di sosial media. Entah di grup WA, Facebook, Instagram, Twitter, atau pun dari sumber lain.” Ungkap Helmi.
Pada platform WhatsApp, sebenarnya, pesan-pesan hoax atau disinformasi ini, dapat secara otomatis kita tepis. Apabila, kita mampu mementahkan ciri-ciri pesannya. Biasanya, pesan-pesan ini memiliki kekhasan sebagai berikut:
Mencatut nama besar dokter atau ahli yang tidak Anda kenali. Bahkan jika dicari melalui Google, namanya tak ditemukan atau berhubungan dengan pesan yang Anda terima.
Menautkan link – link berita yang tidak relevan, sudah ‘not found’, atau pranala tidak terlacak medianya.
Menyertakan pengalaman ‘kisah nyata’ dari teman, saudara, kolega-nya pengirim pertama (yang sudah tidak kita ketahui lagi siapa) di tempat yang jauh dari lokasi Anda tinggal.
Panjangnya ketikan disertai dengan ikon – ikon emoji beragam seperti ikon centang, gambar hati, apel, bunga, dsb.
Menambahkan frasa atau kalimat yang sebenarnya ancaman namun diselimuti sebagai ‘himbauan’, seperti: “Sebelum terlambat, bagikan kepada orang tersayang”, “Bentuk ikhtiar Anda membantu sesama”, “Siapa tahu ada yang membutuhkan”.
Lalu apakah ada cara – cara untuk menanggulanginya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPJ, ketiga cara ini dapat dipakai untuk menanggulangi pesan kesehatan hoaks di WhatsApp:
Mengecek sumber atau nama yang tercantum di dalam pesan melalui mesin pencari. Mudahnya dengan googling tautan yang diberikan, hingga dengan mencari tahu nama yang dicatut. Kapankah pernyataan itu ia buat? Di masa kini, bukanlah hal yang sulit untuk tahu kapan seorang tokoh membuat pernyataan. Ingat! Janganlah hanya mengandalkan pengirim pesannya. Pesan-pesan hoaks ini bisa dikirim oleh orang – orang yang Anda percaya cerdas sekali pun.
Tidak terburu-buru meneruskan pesan yang diterima. Meski himbauan yang mengancam ini sangat terasa intimidasinya, tahan diri. Karena toh, tidak serta merta kiriman pesan Anda secara ajaib membuat seorang sembuh. Seringkali, pesan ini justru menjadi boomerang bagi penerimanya.
Setelah langkah pertama telah Anda lakukan, dan pesan itu kredibel, maka sudah aman untuk Anda teruskan. Namun, jika terkonfirmasi hoax, maka minta pengirim untuk berhenti meneruskan pesannya. Berikanlah edukasi singkat mengenai literasi digital ini kepada pengirimnya.
Viola, Anda pun sudah berkontribusi memutus rantai pesan hoax yang menyesatkan! Selamat mencoba!
Approved and edited by: NB
Comments