top of page
  • Writer's picturekompressupj

Shockvertising, Tarik Menarik Antara Kreativitas dan Etika

Ditulis oleh: Isti Purwi Tyas Utami, M.I.Kom

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Jaya


Di era media digital yang menempatkan khalayak sebagai pihak yang memiliki otonomi atas pesan yang ingin dikonsumsi, praktisi iklan dituntut untuk semakin kreatif menemukan ide yang sanggup menyita perhatian. Berbagai cara dilakukan agar brand atau isu yang dikampanyekan mampu menembus lautan iklan dan menjadi pesan yang diperbincangkan. Shockvertising merupakan salah satu cara praktisi iklan menarik perhatian melalui pesan yang mengusik bahkan mengganggu bawah sadar khalayaknya.


Pesan yang disajikan tidak jarang bertentangan dengan norma sosial maupun keyakinan personal. Ide-ide berbau ketakutan, kekerasan, seksualitas, hingga rasisme kerap digunakan dalam shockvertising. Contoh yang paling mudah ditemui adalah bungkus rokok yang menampilkan gambar organ dalam manusia yang rusak karena kanker. Iklan layanan masyarakat di bidang kesehatan maupun kerusakan lingkungan pun kerap menggunakan visualiasasi yang menggusik. Namun tidak sedikit brand yang sengaja menggunakan shockvertising dengan tujuan mengusik benak khalayak lalu berharap tetap dikenang sekalipun mengabaikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi khalayak.

Bagaimana tanggapan Anda tentang peringatan ini? Sumber: marketing.co.id

Kekuatan Shockvertising


Shockvertising dengan pesan kontroversial dalam sejarah periklanan berhasil digunakan oleh beberapa brand ternama untuk menarik perhatian khalayak luas, salah satunya adalah Benneton. Benetton menjadi pusat perhatian karena beberapa iklannya yang mengguncang publik berhasil menuai pujian sekaligus memicu amarah dan protes. Sikap Benetton terkait keberagaman ras, hak asasi manusia, dan isu kerusakan lingkungan yang disuarakan melalui iklannya memperoleh tanggapan positif publik. Namun visualiasi iklan-iklannya yang kontroversial menimbulkan protes.


Protes yang paling keras ditujukan pada iklan Benetton yang mengunakan foto seorang pria pengidap HIV AIDS yang tengah sekarat. Sekalipun pihak Benetton menyatakan bahwa tujuan dari iklan tersebut adalah menggugah kesadaran khalayak tentang tragedi yang dialami penderita HIV AIDS namun banyak pihak yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Benetton melanggar hak asasi pasien.


Dalam sebuah studi yang dimuat oleh Journal of Advertising Research ditemukan bahwa pesan iklan yang menciptakan shock mempengaruhi perubahan perilaku terkait HIV dan AIDS karena mampu meningkatkan perhatian, memori dan mempengaruhi perilaku. Khalayak memandang pesan semacam ini secara lebih serius. Studi lain di tahun 2016 terkait pesan iklan dan proses pemindaian otak saat seorang terpapar pesan dengan gambar yang menciptakan shock menunjukkan bahwa area amigdala yang bertanggungjawab atas emosi dan korteks yang bertanggungjawab atas proses kognitif bekerja sangat aktif saat melihat gambar. Pesan emosional yang menimbulkan shock atau rasa takut bertahan jauh lebih lama dibandingkan pesan yang bersifat informatif. Perasaan shock yang kuat selanjutnya mempengaruhi pikiran dan perilaku.


Penggunaan pesan yang mengguncang dengan tujuan menarik perhatian, mengigat hingga mendorong perubahan perilaku dapat digunakan pada iklan layanan masyarakat terkait kebijakan publik dan isu-isu sosial. Pesan yang menggugat dalam shockvertising mengajak target sasaran untuk mengevaluasi nilai-nilai yang diyakini melalui proses disonansi kognitif. Untuk mengatasi ketidaknyamanan tersebut muncul keinginan untuk mengubah pola pikir dan perilaku. Iklan WWF terkait perburuan satwa liar misalnya kerap menggunakan visualisasi yang mengusik benak target sasaran sehingga menimbulkan rasa bersalah. Melalui pesan semacam ini target sasaran akan mengevaluasi sikapnya akan isu perburuan hewan liar.


Shockvertising dan Persoalan Etika

Sebuah iklan tidak hadir di ruang hampa. Ada khalayak sasaran dan khalayak luas yang terpapar oleh pesan iklan. Shockvertising di satu sisi dapat menjadi senjata yang ampuh untuk menarik perhatian khalayak luas namun di sisi lain sangat potensial memicu perdebatan terkait nilai-nilai etika. Hal ini tentu beresiko pada reputasi sebuah brand. Lebih-lebih dalam konteks masyarakat informasi yang memungkinkan sebuah iklan dapat tersebar luas dengan cepat secara global.


Pesan iklan yang sensitif terkait kultur dapat memicu polemik. Hal ini dikarenakan nilai-nilai etika yang berlaku di setiap negara pun berbeda dalam memandang sebuah pesan kontroversial dalam shockvertising. Karenanya pekerja kreatif iklan harus memiliki kepekaan mengenai batasan kebebasan dalam menentukan ide kreatif dalam shockvertising. Dengan memahami bahwa kebebasan dalam menciptakan pesan iklan harus dibarengi tanggung jawab pada khalayak luas maka polemik yang mungkin terjadi karena isu sensitif pun dapat diantisipasi sejak awal.


Louis Alvin Day dalam bukunya Ethics in Media Communication mengemukakan beberapa prisip yang dapat menjadi rambu-rambu dalam implementasi kebebasan. Prinsip pertama adalah Harm Principle yang menjelaskan bahwa kebebasan individu layak dibatasi untuk mencegah tindakan menyakiti orang lain. Kedua, Paternalism principle menyebutkan bahwa khalayak sangat dipengaruhi oleh pesan media yang dibaca atau didengar, karenanya pekerja media termasuk pekerja kreatif iklan perlu memikirkan dampak pesan iklan yang akan disebarluaskan.


Ketiga, Moralism principle yakni baik buruknya sebuah tindakan ditentukan oleh mayarakat bukan individu. Dengan demikian seorang pekerja kreatif iklan harus mempertimbangkan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat saat dalam menyiapkan pesan iklan. Keempat, Offense principle yakni bahwa pesan media tidak boleh menimbulkan rasa malu, kegelisahan dan kebingungan pada seseorang. Dengan beberapa prinsip tersebut seorang kreator iklan tentu dapat menimbang apakah ide kreatif dalam shockvertising akan menarik dan membantu menciptakan penilaian positif publik terhadap brand ataukah sebaliknya.


Approved by: NB

146 views0 comments
Post: Blog2_Post
bottom of page