Ditulis oleh: Isti Purwi Tyas Utami, M.I.Kom
Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi
Unversitas Pembangunan Jaya
Wabah Covid 19 masih menjadi teror bagi warga dunia, tak terkecuali Indonesia. Tiga bulan sejak pemerintah menetapkan wabah Covid 19 sebagai bencana nasional 14 Maret 2020, sebagian besar masyarakat masih dianjurkan melakukan social distancing dengan melakukan berbagai aktivitas dari dalam rumah. Kebijakan PSBB yang diberlakukan di berbagai daerah berdampak nyata pada kondisi perekonomian warga. Banyak warga masyarakat kehilangan pekerjaan karena perusahaan terus merugi bahkan tutup.
Pilihan yang ada tak lain hanya PHK atau dirumahkan dengan pemotongan gaji atau bahkan tanpa gaji sama sekali. Data Kemnaker yang telah diverifikasi menyebut 1,7 juta tidak bekerja karena pandemi. Bantuan kebutuhan APD, jaminan layanan kesehatan dan bahan pangan selama pandemi sangat mendesak untuk diupayakan secepatnya, mengingat pemerintah pun tampak tidak siap dengan pandemi berikut dampak sosial ekonomi yang mengikutinya.
Dalam kondisi sulit seperti ini inisiatif untuk mengusahakan bantuan bagi mereka yang terdampak justru muncul dari masyarakat sendiri. Modal sosial masyarakat Indonesia berupa tradisi gotong-royong muncul sebagai respon atas kegagapan pemerintah menghadapi pandemi. Solidaritas warga masyarakat merebak cepat seperti virus baru yang muncul menyaingi Covid 19.
Solidaritas diinisiasi individu maupun komunitas dalam berbagai bentuk dan cara. Jika public figure bergantian melelang barang berharga dan pengusaha menyediakan aset propertynya untuk tenaga medis, warga masyarakat kebanyakan menampilkan inisiatif yang beragam. Namun semua gerakan solidaritas menguat dan menyebar cepat karena jaringan internet dan media sosial.
Salah satu aksi solidaritas yang diinisiasi oleh individu dan diduplikasi secara cepat oleh warga lain di berbagai daerah adalah aksi cantelan sembako dan sayur-mayur. Seperti kisah yang ditulis oleh harian Kompas tentang Ardiati di Yogyakarta dan Sulastama Raharja di Riau yang bertemu secara virtual namun dapat menggerakkan solidaritas cantelan sembako di 22 propinsi. Aksi lain diinisiasi oleh founder Drone Emprit, Ismail Fahmi yang mencetuskan tantangan 100 juta masker melalui media sosial Twitter. Aksi ini ingin mengajak masyarakat untuk menggunakan masker kain katun dua lapis daripada membeli masker bedah atau masker N95 yang lebih dibutuhkan oleh tenaga medis.
Solidaritas yang diinisiasi komunitas pada umumnya dilakukan dengan menggelar kegiatan secara online misalnya konser amal daring yang dilakukan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Forum Islam Progresif (FIP), dan Federasi Buruh Lintas Pabrik. Saweran online untuk membantu seniman yang terkena dampak pandemik pun dilakukan baik oleh organisasi maupun seniman sendiri.
Salah satu penggalangan donasi yang cukup fenomenal dan melibatkan situs crowdfunding Kitabisa.com adalah konser amal Didi Kempot yang berhasil mengumpulkan 7, 6 Miliar rupiah. Selain menginisiasi dan mengamplifikasi solidaritas melalui media sosial, warga masyarakat pun secara mandiri dapat menggunakan fitur donasi digital yang disediakan layanan aplikasi Gopay dan Ovo. Inilah wajah baru aksi solidaritas dalam masyarakat jaringan. Model solidaritas yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh warga dunia ketika wabah penyakit terjadi dan merenggut banyak nyawa di masa lalu.
PARTISIPASI DAN KOLABORASI DALAM MASYARAKAT JARINGAN
Kehadiran internet dan media sosial terbukti mempermudah warga masyarakat atau komunitas untuk menginisiasi bantuan sosial dengan berbagai cara tanpa kendala jarak, ruang dan waktu. Data yang dirilis We Are social dan Hootsuite mengenai lanskap digital dunia 2020, mencantumkan Indonesia sebagai salah satu negara pengakses internet tertinggi di dunia. Data tersebut menyebutkan hingga Januari 2020 terdapat 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Berdasarkan jumlah tersebut, maka 64% dari populasi penduduk Indonesia telah terhubung dengan jaringan internet global. Kemudian terkait media sosial di Indonesia disebutkan terdapat 160 juta pengguna hingga Januari 2020. Lima media sosial yang paling banyak diakses diantaranya Youtube, WhatsApp, Facebook, Instagram dan Twitter.
Internet dan media sosial mengubah cara berkomunikasi, berinteraksi dan melakukan aktivitas sehari-hari termasuk di dalamnya menginisiasi dan menyebarluaskan aksi solidaritas. McLuhann yang sangat visioner pada jamannya menjelaskan bahwa perubahan budaya oleh media terjadi melalui proses digital (digitally), dimana para pelaku komunikasi dapar saling berinteraksi (interactivity) serta produksi dan distribusi pesan yang memungkinkan pelaku komunikasi aktif terlibat di media digital (dispersal). Media digital memungkinkan setiap individu yang memiliki akses untuk dapat berpartisipasi dan berkolaborasi baik menginisiasi maupun menyebarluaskan pesan solidaritas.
Teknologi komunikasi diciptakan dan dikembangkan semakin hari semakin mempermudah interaksi antar manusia dalam berbagai kegiatan, termasuk dalam melakukan aksi sosial kemanusiaan yang perlu merangkul keterlibatan banyak pihak. Teori Media Richness yang dikemukakan Daft dan Lengel di tahun 1986 menjelaskan bahwa pilihan media komunikasi oleh penggunanya dinilai berdasarkan kemampuan setiap media mengelola informasi menjadi informasi yang mengurangi ketidakpastian dan ketidakjelasan. Media yang dinilai kaya adalah media yang mampu memberikan umpan balik langsung dalam bentuk bahasa alami yang mudah dimengerti.
Media sosial memungkinkan dialog interpersonal hadir dalam saluran digital tanpa kendala jarak, ruang dan waktu. Kehadirannya memunginkan setiap warga masyarakat berkontribusi untuk masyarakat sekitarnya bahkan menyebarkan vibrasi solidaritas pada masyarakat wilayah lain untuk melakukan aksinya masing-masing. Terkait aksi kolektif bersama di saluran digital teori social copresence menjelaskan bahwa persepsi pengguna media terhadap media komunikasi ditentukan oleh keberhasilan proses interaksi diantara pelaku komunikasi. Keberhasilan untuk menghadirkan perasaan kebersamaan dengan pengguna media lainnya dalam interaksi yang dibangun dalam saluran digital pun tampak di dalam solidaritas digital selama pandemi, sebut saja gerakan cantelan sembako yang bisa menjangkau 22 propinsi dalam waktu singkat.
Wajah baru solidaritas di media digital di masyarakat saat ini menggambarkan bagaimana informasi mengenai suatu aksi solidaritas diproduksi, didistribusikan dan disebarluaskan kembali. Hal ini menjelaskan prediksi Daniel Bell di awal tahun 70-an mengenai Post Industrial Society yakni masyarakat yang bercirikan perubahan orientasi ke arah informasi dan pelayanan.
Pemikiran mengenai masyarakat informasi ini dikembangkan lebih jauh oleh Manuel Castells dalam konsep masyarakat jaringan (network society). Castells menjelaskan bahwa teknologi informasi mendorong lahirnya jaringan informasi. Keberadaan jaringan memungkinkan komunikasi berlangsung ke banyak arah dan terjadi pada berbagai level dalam struktur tanpa harus dimediasi atau diwakilkan.
Desentraliasasi menjadi kata kunci penting di dalam masyarakat jaringan. Jaringan komunikasi meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam berbagai aktivitas yang dilakukan. Warga masyarakat tanpa menunggu bantuan langsung pemerintah yang tampak gagap dengan pandemi secara sigap melakukan berbagai aksi solidaritas. Harapan untuk dapat bertahan bersama dalam kondisi sulit selama pandemi justru bermunculan dari bawah, bukan melulu dari pusat. Dapat dibayangkan pula betapa besar kesulitan pemerintah untuk dapat serentak membantu semua kebutuhan warga masyarakat di 34 propinsi terdampak dengan kondisi yang berbeda-beda selama pandemi.
SOLIDARITAS DIGITAL DAN TANTANGAN TRANSPARANSI
Teknologi komunikasi dalam aksi solidaritas digital hanyalah sarana untuk mencapai tujuan warga masyarakat bersama-sama membantu saudara lain yang tengah kesusahan oleh pandemi. Modal sosial masyarakat berupa nilai gotong-royong yang menjadi kekuatan masyarakat Indonesia sejak dulu menjadi kekuatan utamanya. Modal sosial bangsa yang hadir kembali dalam berbagai narasi solidaritas di media digital selama pandemi.
Terlepas dari berbagai bentuk dan cara, tentu diperlukan pengawasan terkait transparansi bila solidaritas yang digalang menyangkut dana warga masyarakat. Aksi solidaritas dalam bentuk lelang atau saweran online tentu sangat berbeda dengan aksi cantelan sembako yang diinisiasi oleh warga masyarakat kebanyakan. Pengawasan terhadap aksi solidaritas yang kecenderungannya masih akan terus berlangsung selama pandemi khususnya yang melibatkan aset warga sebesar apapun sangatlah penting.
Media digital sesungguhnya sangat memungkinkan transparansi informasi yang dibutuhkan warga masyarakat terkait dana yang diberikan sekaligus penyalurannya. Warga masyarakat saat ini seharusnya dapat lebih mudah mengetahui apakah sebuah aksi solidaritas yang melibatkan dana publik murni bertujuan membantu atau disalahgunakan. Di satu pihak pemerintah selaku regulator pun harus melakukan pengawasan terkait berbagai aksi sosial digital yang marak di berbagai wilayah mengingat potensi menjadikan solidaritas sosial sebagai komoditas pun sangat besar.
Solidaritas digital yang marak selama pandemi Covid 19 menjadi bukti bahwa teknologi komunikasi sebagai sebuah inovasi seperti juga teknologi lainnya laksana pisau bermata dua yang dapat digunakan secara baik atau buruk. Semua kembali pada manusia penggunanya. Jika selama ini banyak penilaian buruk terkait internet dan media sosial yang menjadi wadah penyebaran konten negatif yang merugikan maka pandemi saat ini menunjukkan sisi lain keduanya yang dapat menjadi wadah publik untuk berempati dan bergerak bersama mengatasi dampak pandemi.
Tentu sebagai bagian dari suatu masarakat jaringan yang akrab dengan keduanya, kita tidak mudah lagi bersifat kaku dan menolak kehadirannya. Namun tidak mungkin juga sangat memuja teknologi komunikasi ini tanpa berpikir kritis dengan menafikan kemungkinan dampak buruk terkait potensi penyalahgunaan.
Pendekatan tekno realis yang mampu memanfaatkan teknologi internet dan jejaring sosial tanpa meniadakan nilai-nilai kemanusiaan kiranya menjadi pilihan logis kita saat ini. Indonesia dengan 34 propinsi dan penduduk mencapai 269,9 juta jiwa yang terdampak pandemi secara berbeda tentu sangat terbantu oleh kehadiran internet dan media sosial yang dapat menjadi media informasi, partisipasi dan kolaborasi bersama dalam mengatasi dampak pandemi.
Edited and Approved by: Naurissa Biasini
Comments